Articles by "Sastra Islam"
Showing posts with label Sastra Islam. Show all posts
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.


Saat itu, aku bagaikan Isim Mufrod, tunggal – hanya sendiri saja. Seperti halnya kalimat huruf, sendiri tak bermakna. Laksana Fi’il laazim, mencinta namun tak ada yang dicinta. Tak mau terpuruk dan terdiam, aku harus jadi mubtada’, memulai sesuatu. Menjadi seorang fa’il, yang berawal dari fi’il.

Tapi aku seperti Fi’il Mudhoori’ alladzii lam yattashil biaakhirihii syai’. Mencari sesuatu, tapi tak bertemu sesuatupun di akhir. Berjumpa denganmu adalah Khobar Muqoddam, sebuah kabar yang tak disangka. Aku pun menjadi Mubtada’ Muakkhor, perintis yang kesiangan.

Aku mulai dengan sebuah kalam, dari susunan beberapa lafadz, yang mufid, terkhusus untuk dirimu dengan penuh mak’na. Dari sinilah semua bermula, aku dan kamu bagaikan idhofah. Aku Mudhof, kamu Mudhof Ilaih. Tak bisa dipisahkan.


Cintaku padamu, beri’rob rofa’. Tinggi. Bertanda Dhammah. Bersatu Cinta kita bersatu, mencapai derajat yang tinggi. Saat-saat mengejar cintamu, aku hanyalah isim beri’rob Nashob. Susah payah. Bertanda fathah. Terbuka. Hanya dengan bersusah payah maka jalan itu kan terbuka.

Setelah mendapatkan cintamu, tak mau aku seperti Isim yang Khofdh. Hina dan rendah. Bertanda Kasroh. Tercerai berai. Jika kita berpecah belah tak bersatu, rendahlah derajat cinta kita.

Karenanya, kan kujaga cinta kita, layaknya Isim yang ber-I’rob jazm. Penuh kepastian. Bertanda dengan sukun. Ketenangan. Kan kita gapai cinta yang penuh damai saat semua terikat dengan kepastian tanpa ragu-ragu
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.



By : Nurul Laily
            Aku pandangi langit yang kemerahan, rupa-rupanya matahari masih tersipu malu tuk keluar dari peraduan, indah. Pagi yang jelita.

            Perlahan kubuka daun jendela hingga seberkas cahaya dapat masuk dengan leluasa. Lima langkah ke belakang dari tempatku berdiri, belahan jiwaku tengah terlelap, namun silau cahaya yang masuk sama sekali tidak mengusik nyenyaknya.

            Kucium keningnya lembut, perlahan kemudian ku bisikkan beberapa kalimat pada telinganya yang entah ia dapat mendengarnya atau tidak.
            “Hari ini ulang tahun pernikahan kita yang ke 40, Abuya…”.

            Butiran bening jatuh dari ujung matanya yang terpejam, lembut mengalir melewati pipi dan rahangnya yang kuat untuk kemudian mendarat di atas bantal bersarung putih kebiruan. Ia mendengar suaraku rupanya.
            Abuya…cepatlah bangun….
***
            Masih jelas dalam chip memoriku gambaran juga kenangan 23 Januari empat puluh tahun silam, saat dimana cincin emas bertahtakan berlian merah jambu ia sematkan di jari manisku setelah kalimat sakral ia ucap dengan gagahnya dihadapan Penghulu, Saksi juga tentu Ayahku. Hari itu, mahar istimewa hafalan Surat an-Nurnya terdengar syahdu dan menggema.

            Hari-hari kemudian berubah menjadi harmoni nada yang indah. Laki-lakiku yang sebelumnya sama sekali tak kukenal itu telah sempurna menjadi imamku, sempurna menjadi petunjuk arah langkahku, sempurna menjadi punggung tempatku bersandar dan sempurna menjadi tambatan kalbuku.

            Dua bulan berselang, kesehatanku mulai terganggu, wajah pucat  pasi, lemah dan mual hebat membuatku hanya bisa terbaring lelap. Namun, itu adalah hari terindah bagiku karena telah sempurna sudah kodratku menjadi wanita.
            “Terimakasih karena aku akan jadi seorang Ayah….” bisik suamiku ketika sang Dokter keluar dari ruangan selepas memeriksaku. Aku tersenyum penuh syukur, sementara ia telah terlebih dahulu sujud syukur begitu kabar itu ia dengar. Allahu Akbar…Alhamdulillah Yaa Rabb….
***
            Bulan demi bulan berlalu seiring gugurnya rerantingan kaku, kandungan yang makin hari semakin berat kini telah berhasil membuatku terkapar, lemah di atas ranjang berseprai putih di ruangan yang juga putih. Suamiku erat menggenggam tanganku dan terus membisikkanku kalimat-kalimat penguat sampai akhirnya suara tangisan seorang bayi laki-laki memecah ketegangan dan bergantian dengan gemuruh takbir, tahmid serta shalawat pada Sang Thaha, Nabi Muhammadr.

            Ali kecil melengkapi keluarga baruku, membuatku sempurna menjadi seorang wanita. Pahlawan kecilku itu tumbuh dengan begitu cerdasnya.

            Ali kecilku kebanggaan keluarga, tingkah lakunya tak jarang membuat air mata keharuan menetes dari ujung mata kami berdua.

“Ummah, kalo Abuya belum pulang, Ali jadi imam ya…”. Selorohnya ketika adzan maghrib berkumandang. Kalimat ringan yang membuat terbang hati seorang Ibu. 

            Usia lima tahun Ali sudah menjadi seorang kakak, bayi cantik bernama Fatimah Azzahra menjadi teman barunya meski sempat ia protes karena ‘kenapa bukan laki-laki’. Si Batul yang berambut keriting dan pipi yang tembem itu tumbuh dengan sehat dan begitu ceria. Suka menghabiskan waktu dengan buku-buku cerita bergambar dan mainan masak-masakkannya.

            Tahun demi tahun berganti, lahir si tampan Ja’far. Ia, at-Thayyar tumbuh dengan gagahnya. Lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya dengan peralatan elektronik sang Buya.

            Lalu saat Ja’far genap berusia empat tahun, kembali aku dianugerahi seorang putra, Abdullah namanya. Menyusul empat tahun kemudian si bungsu Amirah. Lengkap sudah tiga putra dan dua putri kami tumbuh dengan sehatnya, dengan kelebihan masing-masing yang tak jarang membuat kami tersedu bangga. Meski tak jarang kebingungan sebab biaya membuat malam-malam kami tak bisa tenang.

            Biaya saat mereka sakit
            Biaya obat
            Biaya perawatan
            Juga tentu pendidikan

“Bagaimanapun keadaannya, mereka amanat. Kita harus perkenalkan mereka tentang siapa Allah dan Rasul-Nya”. Begitu ucap suamiku saat kami benar-benar tak ada rupiah untuk si bungsu masuk Ma’had.

            Allah…tapi semua itu telah berlalu. Dalam benakku, serasa baru kemarin kuusap tangis mereka saat terjatuh, kuraih dan ku peluk saat mati lampu, namun sekarang satu persatu buah hatiku telah melangkahkan kaki keluar rumah, membangun rumah tangga baru dengan pasangan hidup mereka.
            Anak-anakku
            Pelipur laraku, Ali, Fatimah, Ja’far, Abdullah dan Amirah…
***
            Ku usap peluh suamiku yang belum juga terjaga, sesekali ku benahi letak kacamataku agar dapat dengan jelas melihat layar telepon genggamku, takut-takut ada sms masuk atau jangan-jangan ada panggilan yang tak terdengar.
            Tapi, NIHIL, kecemasanku tak terjadi rupanya. Kemana anak-anakku…..?
            Jam lima sore, senja mulai menjelang. Matahari mulai merayap lambat ke peraduan sementara siluet merah indah tergambar. Jemari tangan kanan suamiku bergerak menyentuh pipiku ketika aku tertidur duduk di samping ranjangnya. Aku terkejut, “Allahu Akbar” pekikku tertahan. Syukur yang tak dapat ku lukiskan membuat aku gugup dan bingung, berkali-kali kucium kening dan punggung tangannya.

            Saat sang dokter dan perawat datang, tergopoh aku raih tongkat dan telepon genggamku keluar ruangan.

            Anak-anak…

Anak-anak harus tahu kabar bahagia…

Ayah mereka sudah sadar…

            Ku telepon kontak bertuliskan ‘walady Ali’, 1 detik, 5, 10, 15…tak ada jawaban sama sekali.

Tak apa, mungkin ia sedang menghadiri suatu undangan.

            Ku telepon kontak bertuliskan ‘binty Fatimah’, Sama tak ada jawabnya, sampai beberapa detik kemudian datang sms, “Ummah, Fatimah masih di perjalanan”.

            Kutelepon kontak yang bertuliskan ‘walady Ja’far’, kini, sama. Tak ada jawaban. Sampai akhirnya mulai terdengar suaranya yang kabur, sepertinya sedang ada dalam sebuah keramaian.

“Ummah, nanti Ja’far telepon, ini sedang di zuwad-an teman”.

            Tak apa, Abdullah pasti ada.

1, 2, 6, 10 lagi-lagi tak ada jawaban, “Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan”. Hanya itu yang terdengar.

            Amirah, ini harapan terakhir, namun sebelum kuhubungi, smspun masuk. Tepat dari Amirah. ‘Ummah, doakan ya…si kecil sedang ikut lomba adzan, lucu deh. Bentar lagi ku kirim videonya. Besok ia ultah, Ummah datang ke rumah ya…?’.

            Aku hanya bisa menelan ludah dan mengelus dada, sakit dihantam kenyataan. Seorang suster mengambil tongkatku yang jatuh.

            “Nek…, suaminya sudah bisa ditemui, anak-anak dan cucunya boleh diajak masuk”.

            Aku tersenyum, kemudian perlahan aku berjalan memasuki ruangan. Kutelan ludah berkali-kali, berusaha sembunyikan gugup, kuangkat wajah, ku tatap langit-langit, berharap tak ada butiran bening jatuh.

            “Mana anak-anak?”. Tanya suamiku lirih, kuusap keningnya sayang.

            “Ada, di depan, sejak 3 hari mereka di sini, terus berdoa meminta kesembuhan untuk Buya-nya”.

            Ia tersenyum.

            “Makanya cepat pulih, kalau sudah pindah ruangan, baru mereka boleh menjenguk”.

            “Semuanya disini?”. Sahutnya.

            “Ya, semuanya. Mereka tak akan rela berjauhan dengan Buya dan Kakeknya”

            “Suara gaduh di luar itu…?”.

            “Ya, itu mereka”. Lekas jawabku.

Aku tersenyum dalam jerit pahit kurasakan.

“Maafkan aku Buya…,

Senja ini, tak ingin aku membuatmu merasa masa senja kita kelabu…”.


Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

 http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/05/aisyah-great-woman-in-islam.html
Wanita yang satu ini memang luar biasa. Rasulullah saw. menjulukinya “Humaira” (Si Jelita yang kemerah-merahan pipinya). Bahkan, ia tak hanya cantik lahirnya, sopan tutur katanya, dan lembut perilakunya, tetapi juga dikenal sebagai wanita yang smart (cerdas) dan pandai sehingga menjadikannya termasuk al-mukatsirin (orang yang terbanyak meriwayatkan hadis).
Disebutkan, muslimah yang wafat pada usia 63 tahun ini telah meriwayatkan sebanyak 2210 hadis: 297 di antaranya tersebut dalam kitab shahihain dan yang mencapai derajat muttafaq `alaih 174 hadis.
Tentang keutamannya yang lain, Aisyah ra. pernah bilang seperti ini, “Saya telah dianugerahi sembilan perkara yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun setelah Maryam binti Imran. Kesembilan perkara itu adalah:
1) Telah datang Jibril (dalam mimpi Rasulullah saw.) dengan gambarku dan menyuruh beliau untuk menikahiku.
2) Rasulullah saw. menikahiku dalam keadaan perawan dan tidak demikian halnya dengan istri Rasul yang lain.
3) Rasulullah saw. wafat di pangkuanku.
4) Sayalah yang menguburkan Rasulullah saw di rumahku.
5) Ketika wahyu turun kepada Rasulullah saw, saya pernah
turut serta menemaninya di biliknya.
6) Saya adalah putri khalifahnya dan teman kepercayaannya, yaitu Abu Bakar as-Shidiq.
7) Telah turun permaafan (udzur) buatku dari langit (dalam peristiwa haditsul ifki’).
8) Saya telah diciptakan dalam keadaan baik (suci) untuk mendampingi orang yang baik.
9) Saya telah dijanjikan pengampunan dan rezeki yang mulia. ”

Itulah beberapa hal yang menjadikannya diidolakan oleh banyak muslimah. Namun sayang, selama ini masih belum ada buku yang merekam dan menyajikan kisah perjalanan hidup Aisyah secara lengkap dan utuh.
Melihat kenyataan itu, Sayyid Sulaiman an-Nadwi, seorang ulama besar di India, tergerak untuk menulis buku biografi sosok Aisyah ra. yang mengulas tuntas seluruh sisi kehidupan Aisyah r.a. secara utuh dan detail.
Dengan gaya sastrawinya yang khas dan lugas, penulis yang memulai tulisannya ini pada tahun 1908 ini menyuguhkan seluruh keistimewaan dan sifat `Aisyah dalam berbagai bidang ilmu: fikih, hadis, tafsir, ilmu syariat, sastra, syair, kisah-kisah, ilmu genetika, dan kedokteran
Lebih menariknya lagi, selain memaparkan pelbagai realitas sejarah dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Aisyah, buku ini juga mengupas tentang berbagai teladan yang dicontohkan Aisyah sebagai seorang istri dan ibu dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah.
Pemaparan sisi-sisi intelektualitas, romantisme dan heroisme Aisyah itulah yang menjadikan karya ini patut menjadi kiblat penulisan biografi tokoh-tokoh penting lainnya. Mengapa demikian?
Karena, buku ini merupakan hasil analisa ilmiah dan studi historis yang komprehensif.
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Peribahasa yang diucapkan untuk sesuatu yang sudah terjadi dan tidak mungkin dikembalikan kepada keadaannya semula, sebagaimana bila nasi dibuat bubur, bila ia sudah menjadi bubur, maka tidak bisa dikembalikan menjadi nasi.

Apabila sesuatu telah terjadi maka ia terjadi, tidak mungkin dibatalkan, tidak mungkin dikembalikan kepada keadaannya semula, dalam kondisi tersebut. 

Bila sudah demikian, maka yang bisa dilakukan adalah apa yang akan dilakukan terhadap bubur agar ia tidak sia-sia. Bagaimana membuat sesuatu yang sudah terjadi diperbaiki atau diminimalkan keburukannya. 

Kisah peribahasa ini : 

Kata sohibul hikayat, seorang bapak menyuruh anaknya seorang pemuda mencari untanya yang hilang, bapaknya menunggu tetapi anaknya tidak kunjung kembali.

Suatu hari bapak melakukan sebuah perjalanan, di tengah jalan dia bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan sejalan dengannya, maka keduanya setuju berjalan bersama. Lelahnya perjalanan memaksa keduanya beristirahat.
Pada saat istirahat tersebut laki-laki itu berkata kepada bapak, “Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan seorang pemuda di tempat ini, aku membunuhnya dan mengambil pedangnya ini.” 

Kontan pikiran bapak tertuju kepada anaknya yang pergi dan belum pulang, jangan-jangan pemuda tersebut adalah anakku, pikir sang bapak. 

Bapak tersebut mengambil langkah pintar dengan meminta rekannya itu memperlihatkan pedang kepadanya, tanpa curiga orang tersebut memberikan pedang kepada bapak.
Bapak yakin, ini adalah pedang anaknya, orang inilah yang membunuh anaknya berdasarkan pengakuannya sendiri, maka tanpa kata-kata, pedang itu pun menebas leher orang tersebut. 

Pedang berbicara, leher terpenggal, tidak mungkin menyambungnya untuk mengembalikan hidupnya, nasi telah menjadi bubur.
Orang-orang Arab berkata, 
وقَعَ الفَأْسُ عَلىَ الرَّأسِ kapak telah jatuh di atas kepala.


Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

Dari Penjara Taliban Menuju Iman
Sinopsis :

Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata Yvonne Ridley, seorang wartawati-feminis asal Inggris. Dia pernah mengejutkan dunia ketika ditangkapoleh tentaraTalibandi perbatasan Afghanistan-Pakistan saat melakukan reportase dalam penyamaran menjelang serangan Ame-rikaSerikatdan para sekutunyaterhadap Afghanistan padaakhir2001. Setelah ditahan selama sepuluh hari oleh penguasa Taliban, Yvonne Ridley akhirnya dibebaskan.

Namun, pengalaman tersebut sangat membekas dalam kaibunya dan mengubah jalan hidupnya. Sekembalinya ke Inggris, Yvonne mulai mempelajari Al-Quran. Dua tahun kemudian, ibu seorang putri yang sebelumnya penganut hidup bebas ini menyatakan diri masuk Islam. Kini, dia dikenal luas sebagai seorang kolumnis yang vokal dalam membela Islam dan kaum tertindas, selain sebagai aktivis perdamaian.

Novel ini mengungkap ziarah batin Yvonne sebagai seorang anak manusia yang tersaruk-saruk bergulat menyusuri jalan hidup penuh liku dalam menemukan cahaya kebenaran. Kisah hidup Yvonne Ridley mengandung hikmah universal yang bisa dimaknai oleh siapa pun yang mau merenunginya.


Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.


"Aku baru saja berdiri dari tempat duduk ketika kusadari mataku basah oleh sedikit rembesan air mata. Sebuah buku telah menghisapku sedemikian dalam ke seluruh pori-pori katanya, membuat apa yang terkatakan menjadi tak terkatakan, dan menjadikan waktu dan detak jantung seperti sepakat untuk berhenti bersama. Aku tahu ini hanyalah fiksi, cerita yang telah menjadi sebuah legenda dari masa ke masa, namun bagi otak bawah sadarku ini adalah fakta yang nyata. Toh, apalah arti fakta dan fiksi di bawah dunia fana ini—yang barangkali hanyalah “rekaan” bagi pikiran Dia Sang Maha di langit sana?"

Itulah sejumput kutipan dari buku Layla Majnun, yang bukanlah sebuah buku biasa. Tadi sore tanpa sengaja ane memilihnya, ketika ane hendak mengembalikan buku ke perpustakan. Tak terpikirkan olehku bahwa ane akan membaca novel yang judulnya sudah lama kutahu itu, dan bagiku tampak klise. Ane menyadari bahwa sangkaanku salah: buku ini—jika kau pernah membacanya, sebaiknya kau tak beranjak sedikit pun sampai kau benar-benar mengkhatamkannya.

Terpujilah untuk penerjemah dan penyunting buku ini, yang berhasil menyuguhkan suatu bacaan yang sangat hidup dan “sempurna” ke sidang pembacanya. Kalian berdua adalah pasangan serasi, ibarat Majnun dan Layla. Terpujilah untuk penerbit buku ini, yang mau menerbitkan buku yang akan memperkaya khazanah

Terpujilah Nizami sang pengarang, seorang pujangga Persia abad ke-12, yang mau menggubah kisah ini dengan kecemerlangan yang sulit ditandingi. Dan tentu saja, tak akan pernah lupa, terpujilah untuk Dia yang menciptakan Layla dan Majnun ke dunia ini, yang untuk cinta-Nya Nizami dan para pengarang-sufi lainnya berkarya.

Perlukah bagiku untuk menceritakan kembali isi buku yang tak biasa ini? Jika kau membaca sendiri buku ini, kau akan mengerti kenapa kata-kata seperti harus meluap-luap untuk menggambarkan nuansanya. 

Ane yang baru membacanya sekali, seperti ingin berteriak kegirangan dan menari sejenak walau cuma dalam imajinasi. Bagaimana dengan William Shakespeare, yang tergerak menulis Romeo and Juliet untuk meniru keindahan buku ini? Bagaimana dengan Jalaluddin Rumi, yang menjadikan karya ini inspirasi terpenting bagi Matsnawi-nya? Terbayangkankah betapa mereka tak cuma girang dan menangis, tapi juga menari? Seperti al-Hallaj yang berteriak sempoyongan karena ketergilaannya pada Tuhan, sang Mawlana—Rumi—pastilah ekstase setelah membaca karya ini.
        
Sejatinya Layla Majnun adalah kisah “tragis” tentang cinta yang tak sampai antara dua orang manusia. Seseorang bernama Qays, dan seseorang lagi bernama Layla. Mereka bertemu, saling jatuh cinta, namun hubungan mereka tak direstui. 

Mereka kemudian berpisah secara menyakitkan, ketika cinta mereka sedang di puncak baranya. Qays begitu tergila-gila pada Layla hingga menyebutnya sepanjang waktu, menyanyikan sajak-sajak cinta di mana pun ia berada-hingga orang mencapnya “Majnun” alias sinting. Ia menelantarkan studinya karena cintanya pada Layla, ia merendahkan harga dirinya karena cinta, dan menggelandang kesana kemari hanya untuk mengungkapkan cintanya kepada Layla.
    
 Padahal Qays adalah anak bangsawan kaya. Dan ayahnya, tahu dan sedih dengan kondisi Qays, berminat melamar Layla, namun lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh ayah Layla. Qays semakin majnun, semakin tenggelam dia dalam kegilaannya, dan orang-orang terus mencemooh dan mencacinya karena ketidakwarasan itu, hingga kemudian ada seorang kesatria Arab bernama Naufal membantu ingin merebut Layla dari sukunya dan mempertemukan Layla dengan Qays

Terjadi perang besar, suku Layla kalah, namun ayah Layla tak mau menyerahkan Layla kepada Naufal. Qays tetap merana dalam kesendiriannya. Ia berkelana ke gurun-gurun pasir tanpa kejelasan nasib, pikirannya terlalap api cinta, dan tubuhnya semakin menderita, kurus ceking dan tinggal tulang belulang. 

Sementara, Layla diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu Salam yang datang melamar ke keluarga Layla dan diterima. Layla pun dinikahkan dengan Ibnu Salam, walaupun lelaki itu tak pernah dicintainya. Dan benar, selama bersama dengan Ibnu Salam, kesucian Layla tetap terjaga; lelaki itu, meski jadi suaminya, tak pernah bisa menyentuhnya.

Selama masa-masa perpisahan itu, Qays si Majnun hidup di hutan, berkawan dengan rimba, dengan binatang-binatang, dan kehilangan akal kemanusiaannya. Terasing dari keluarganya, dari sukunya, dan bahkan dari manusia, dia memilih hidup untuk merawat cinta, sendiri di ganasnya hutan belantara. 

Sementara Layla berhari-hari memendam rindunya pada Qays, Qays membalas rindunya pada Layla dengan sajak-sajak cinta yang dititipkannya pada alam raya. Hingga keduanya mati, mereka hanya bertemu sekali di ujung perpisahan panjang itu. Layla mati, dan Qays pun menyusul kekasihnya ke gerbang kematian. Demikianlah, seseorang kemudian bermimpi melihat keduanya bercengkerama bersama dan saling bermesra ria di surga…
 
Tak ada yang pernah dapat menceritakan kembali keanggunan Layla Majnun hanya dalam satu-dua halaman, kecuali kau menjelma Nizami, dan kalaupun ada yang mau meringkasnya, jangan pernah percaya sebelum kau membacanya dengan mata kepala. Layla Majnun bagiku bukan untuk diceritakan ulang; karya ini untuk dibaca dan dihayati, terutama jika kau pernah mencecap apa yang disebut “cinta”.

Layla Majnun bukan kisah cinta biasa. Cinta antara jantan dan betina, antara dua jiwa yang sekadar ingin bersama. Ia bukan cinta yang sering kali berselubung nafsu dan berahi. Jika saja kau benar-benar merasakannya, mencecapnya hingga kata-kata terakhir di dalamnya, kau akan tahu betapa karya ini sebenarnya berbicara tentang cinta yang lebih hakiki, cinta seorang hamba pada Tuhannya.

Majnun adalah tipikal seorang hamba yang diperbudak oleh cintanya. Sedangkan Layla adalah tipikal seorang kekasih yang mendamba untuk dicintai. Majnun adalah seorang pencari cinta, sedangkan Layla adalah penunggu cinta. Majnun adalah budak cinta yang menghamba untuk diizinkan mencintai, sedangkan Layla adalah majikan yang tak sabar untuk segera dicintai. 
Bukankah semua ini cukup menggambarkan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya?Tuhan, seperti pernah dikatakannya dalam sebuah hadis Qudsi, adalah Khazanah Tersembunyi. Ia ingin dikenal, maka ia ciptakan semesta dan seisinya. Ia mencipta bukan karena Ia butuh kepada ciptaannya, tapi agar Ia kelak dikenal dan dirindu—serta dicumbu—oleh ciptaannya.

Layla Majnun memberi kita ruang untuk menafsiri cinta sesuka hati kita, seturut nurani pembacanya. Namun, pembaca yang satu ini lebih memilih menafsiri dengan kegilaan yang sudah lama tak dirasakannya—kegilaan yang dulu membuatnya begitu gandrung pada al-Hallaj dan sufi-sufi sinting lainnya. 
Dalam kegilaannya, yang hanya sepersekian persen dari kegilaan Majnun, pembaca yang satu ini menuliskan satu pasase di halaman pertama buku yang baru dibelinya: sebuah tanda tangan dan sebuah doa “Semoga Allah selalu merahmati Nizami dengan keluhuran karyanya…”.

(*Persembahan untuk edisi Layla Majnun [yang sementara ini tampaknya merupakan edisi terbaik dalam bahasa Indonesia] karya Nizami, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ali Noer Zaman dan disunting oleh Salahuddien Gz, Kayla Pustaka, Jakarta, cet. I Februari 2009… dan juga persembahan untuk Layla-ku, “masihkah kau selalu jadi Layla bagi Majnun-mu?”)

Sang Perajut Kisah
       Kisah Layla Majnun dirajut oleh Syeikh Nezāmi-ye Ganjavī (bahasa Persia: نظامی گنجوی; bahasa Azerbaijan: Nizami Gəncəvi; 1141 – 1209), atau Nezāmī (bahasa Persia: نظامی), yang nama lengkapnya adalah Nizām ad-Dīn Abū Muhammad Ilyās ibn-Yusūf ibn-Zakī ibn-Mu'ayyid, adalah penyair yang dianggap sebagai penyair epik romantik terbesar dalam literatur Persia, yang membawa gaya realistik epik Persia. Kebudayaannya secara luas diapresiasikan dan terbagi di Azerbaijan, Iran, Afganistan dan Tajikistan. Nezami juga disebut Nizami di beberapa literatur barat, Rusia, Azerbaijan dan beberapa dialek Persia.