TRENDING NOW

Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

📌 Pengertian
Qurban bahasa arabnya adalah الأضحية (al-udhiyah) diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha).
Makna أَضْحَى (adh-ha) adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu sholat dhuha di saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.
Adapun الأضحية (al-udhiyah / qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih dari binatang ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
📌 Hukum Qurban
Hukum menyembelih qurban menurut madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan yang memupuk makna kasih sayang dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.
Sunnah disini ada 2 macam :
1. Sunnah ‘Ainiyah, yaitu : Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
2. Sunnah Kifayah, yaitu : Disunnahkan dilakukan oleh sebuah keuarga dengan menyembelih 1 ekor atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di dalam rumah.
Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah adalah wajib bagi yang mampu. Perintah qurban datang pada tahun ke-2 (dua) Hijriyah. Adapun qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah wajib, dan ini adalah hukum khusus bagi beliau.
Kapan qurban menjadi wajib dalam madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama?
Qurban akan menjadi wajib dengan 2 hal :
1. Dengan bernadzar, seperti : Seseorang berkata : “Aku wajibkan atasku qurban tahun ini.” Atau “Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
2. Dengan menentukan, maksudnya : Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata : “Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut adalah wajib.
Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan seseorang : “Aku mau berqurban dengan kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini tidak akan menjadi wajib karena dia belum memastikan dan menentukan. Dan sangat berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku jadikan kambing ini kambing qurban.”
Dan mohon diperhatikan hal ini, karena hal ini sangat penting.
📌 Waktu Menyembelih Qurban
Waktu menyemblih qurban itu diperkirakan dimulai dari : Setelah terbitnya matahari di hari raya qurban dan setelah selesai 2 roka’at sholat hari raya idul adha ringan dan 2 khutbah ringan (mulai matahari terbit + 2 rokaat + 2 khutbah), maka tibalah waktu untuk menyemblih qurban. Bagi yang tidak melakukan sholat hari raya ia harus memperkirakan dengan perkiraan tersebut atau menunggu selesainya sholat dan khutbah dari masjid yang ada di daerah tersebut atau sekitarnya. Dan waktu menyembelih qurban berakhir saat terbenamnya matahari di hari tasyrik tanggal 13 Dzulhijjah.
Sebaik-baik waktu menyembelih qurban adalah setelah sholat dan khutbah hari Idul Adha.
Catatan penting :
Jika seseorang menyembelih sebelum waktunya, atau sudah kelewat waktunya, misalnya : menyembelih di malam hari raya raya idul adha atau menyembelih setelah terbenamnya matahari tanggal 13 hari tasryik maka semblihan itu tidak menjadi qurban dan menjadi sedekah biasa. Maka hendaknya bagi panitia qurban untuk memperhatikan masalah ini.
📌 Syarat Orang Yang Berqurban
1. Seorang muslim / muslimah
2. Usia baligh
Baligh ada 3 tanda, yaitu :
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun hijriah.
b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun
Dan jika ada anak yang belum baligh maka tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama anak tersebut.
3. Berakal , maka orang gila tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut.
4. Mampu, Mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik.
Maka bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, sunnah baginya untuk melakukan ibadah qurban.
📌 Macam-Macam Binatang Yang Boleh Dijadikan Qurban
1. Unta, diperkiraan umurnya 5 – 6 tahun.
2. Sapi, atau kerbau diperkirakan umurnya2 tahun ke atas.
3. Kambing / doba dengan bermacam- macam jenisnya, diperkirakan umurnya 1- 2 tahun.
📌 Himbauan Pemilihan Bintang Qurban
Dihimbau ( tapi tidak wajib) :
– Gemuk dan Sehat, dengan warna apapun.
📌 Sifat-sifat Binatang yang Tidak Boleh Dijadikan Qurban
1. Bermata sebelah / buta
2. Pincang yang sangat
3. Yang amat kurus, karena penyakit.
4. Berpenyakit yang parah
Keterangan :
Boleh berqurban dengan kambing / sapi/ unta BETINA.
Harap diperhatikan : Banyak masyarakat yang menganggap bahwa qurban dengan sapi /kambing /unta betina adalah tidak sah.
📌 Kesunahan Dalam Menyembelih Qurban
1. Dalam keadaan bersuci
2. Menghadap qiblat
3. Membaca :
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ….
“بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ….
Dan setelah itu berdoa :
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّى ….
Kalau untuk mewakili nama orang :
disebut namanya اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ ….
4. Kesunnahan lain saat menyembelih qurban, hendaknya : Mulai awal bulan Dzulhijah tanggal 1 hingga saat menyembelih qurban agar tidak memotong / mencabut rambut atau kukunya.
5. Jika bisa, menyembelih sendiri bagi yang mampu.
6. Mempertajam kembali pisaunya
7. Mempercepat cara penyembelihan
8. Membaca Bismillah dan Takbir (seperti yang telah disebutkan) sebelum membaca doa.
9. Di depan warga, agar semakin banyak yang mendo’akannya.
10. Untuk qurban yang sunnah (bukan nadzar) disunnahkan bagi yang qurban untuk mengambil bagian dari daging qurban biarpun hanya sedikit.
📌 Cara Membagi Daging Qurban
– Jika qurban wajib karena nadzar : Maka semua dari daging qurban harus dibagikan kepada fakir miskin. Dan jika orang yang berqurban atau orang yang wajib dinafkahinya ikut makan, maka wajib baginya untuk menggantinya sesuai dengan yang dimakannya.
– Adapun jika qurban sunnah : Maka tidak disyaratkan sesuatu apapun dalam pembagiannya, asalkan ada bagian uintuk orang fakir miskin, seberapaun bagian tersebut. Dan dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian. 1/3 untuk keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu, 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya.
📌 Hukum Menjual Daging Qurban
Hukum menjual daging qurban adalah harom sebelum dibagikan. Adapun jika daging qurban sudah dibagi dan diterima, maka bagi si fakir yang menerima daging tersebut boleh menjualnya dan juga boleh menyimpannya. Begitu juga kulitnya, tidak diperkenankan untuk dijual atau dijadikan upah bagi yang menyembelih, akan tetapi bagi seorang tukang sembelih boleh menerima kulit serta daging qurban sebagai bagian haknya akan tetapi tidak boleh daging dan kulit tersebut dijadikan upah.
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

Ijazah dari Habib Abdulloh Al Muhdor - Yaman

1. Membaca istighfar sebanyak 100 kali di hari raya ied. 
Waktunya antara sholat Subuh dan sholat Ied.

اَسْتَغْفِرُاللهَ العظيم ١٠٠ x

Barangsiapa yg membaca dzikir tersebut, maka InsyaALLAH dosa-dosa kita baik yang besar maupun yang kecil akan dihapuskan.

2. Membaca :

لاَإِلَٰهَ إِلاَّاللّٰهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِي وَ يُمِيْتُ ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ ، وَ ه‍ُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر

Barangsiapa membaca dzkir tersebut sebanyak 400 kali antara sholat subuh sampai sholat ied, maka InsyaAllah Allah SWT akan memberikan kepadanya 400 bidadari di surga kelak, dan Allah SWT akan memberikan istana atau rumah di surga sebanyak 400 istana atau rumah dan juga Allah SWT akan memerintahkan kepada malaikat untuk menanami tanaman di setiap rumah tersebut sampai yaumil qiyaamah.

3. Membaca :

سُبْحَانَ الْلَّهِ وَ بِحَمْدِهِ

Barangsiapa membaca dzikir tersebut 300 kali antara waktu sholat subuh sampai sholat ied, dan meniatkan pahalanya untuk seluruh ahlil kubur muslimin dan muslimat.

Maka ALLAH akan mengirimkan 1000 cahaya ke setiap ahlil kubur, dan setelah yang membaca dzikir tersebut meninggal nantinya maka akan diberikan 1000 cahaya juga kepadanya dan setiap ahlil kubur akan mendoakan kita karena dzikir yang telah kita hadiahkan kepada mereka yang mana membuat kuburan mereka bercahaya.

Semoga Manfaat.
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Semesta Bersedih Atas Kepergian Ramadhan

Dari Jabir radhiallahu‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Jika malam Ramadhan berakhir, seluruh makhluk-makhluk besar, di segenap langit dan bumi, beserta malaikat ikut menangis. Mereka bersedih karena bencana yang menimpa umat Muhammad saw. 
Para sahabat bertanya, ‘bencana apakah ya Rasul?’ 
Jawab Nabi, ‘Kepergian bulan Ramadhan.’ Sebab di dalam bulan Ramadhan segala doa terkabulkan. Semua sedekah diterima. Dan amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya, penyiksaan sementara di hapuskan.”

Tidak Terasa, Waktu seperti begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di penghujung Ramadhan. Kalau kita perhatikan masyarakat di sekeliling kita, sebagian mereka bahkan mulai disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan sudah terasa. Mall-mall menjadi padat. Lalu lintas lambat merayap. Banyak rumah berganti cat. Baju baru dan makanan enak juga telah siap.

Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. 

Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di masa modern ini.

Saudaraku yang dirahmati Allah,

Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir? Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab.

Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya.

Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan?

قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ
Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu(HR. Ahmad)

Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?

Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.

Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah SAW bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka.

بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani)

Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf para sahabat dan orang-orang shalih. 

Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.

السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ
Wahai Rabb kami… terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Bagi para ulama salaf shalih menjelang  hari-hari kepergian Ramadhan, begitu berat dan sedih mereka rasakan. Dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. 

Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka. Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.

Betapa tidak, bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. 

Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. 

Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :

كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم
“ Para ulama salaf, berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan kepada bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa lagi selama enam bulan agar Allah mau menerima amalan ibadah mereka tersebut (selama di bulan Ramadhan) “.

Beliau juga mengatakan :

كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر فيقال له: إنه يوم فرح وسرور فيقول: صدقتم ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا فلا أدري أيقبله مني أم لا ؟

“ Sebagian ulama salaf menampakkan kesedihan di hari raya Idul Fitri, Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Wahb bin al-Ward melihat suatu kaum sedang tertawa di hari raya, maka beliau mengatakan :

إن كان هؤلاء تقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الشاكرين، وإن كان لم يتقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الخائفين
“ Jika mereka termasuk orang yang diterima ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa syukurnya ? dan jika mereka termasuk orang yang ditolak ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa takut mereka ? “.

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam :

يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنيه، ومن هذا المحروم فنعزيه. وعن ابن مسعود أنه كان يقول: من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه
 “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :

من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه، أيها المقبول هنيئا لك أيها المردود جبر الله مصيبتك
 “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, semoga Allah menambal musibahmu ”.

Subhanallah, demikianlah keadaan ulama salaf jika menjelang kepergian bulan Ramadhan. Mereka merasa sedih sebab kesempatan luar biasa itu tidak datang setiap hari atau bulannya, mereka perlu berdoa keras supaya Allah memanjangkan usia mereka dan menyampaikan mereka kepada kesempatan emas tersebut. 

Dan mereka merasa sedih sebab belum tentu amalan yang mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, diterima oleh Allah Ta’ala. 

Inilah keadaan ulama salaf, mereka masih merasa khawatir amalan ibadah mereka tidak diterima Allah karena merasa diri masih belum sempurna melakukannya dan merasa banyak kekurangannya. Padahal realitanya mereka sungguh orang yang paling bersungguh-sungguh di dalam menjalankan hak-hak di bulan Ramadhan.

Sekarang kita lihat bagaimana kesungguhan para ulama salaf ketika mereka berada di dalam bulan Ramadhan :

Adz-Dzahabi mengatakan :

كان الأسود بن يزيد يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين، وكان ينام بين المغرب والعشاء، وكان يختم القرآن في غير رمضان في كل ست ليالٍ

“ al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan di setiap dua malamnya. Beliau tidur di antara maghrib dan Isya, dan beliau mengkhatamkan al-Quran di selain bulan Ramadhan setiap enam malam sekali “.

Sufyan ats-Tsauri fokus membaca al-Quran.

كان سفيان الثوري إذا دخل رمضان ترك جميع العباد وأقبل على قراءة القرآن

“ Sufyan ats-Tsauri jika masuk bulan Ramadhan, maka beliau meninggalkan orang-orang dan fokus membaca al-Quran “.

Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan 17 khataman.

كان الوليد بن عبد الملك يختم في كل ثلاثٍ، وختم في رمضان سبع عشرة ختمه

“ Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan al-Quran tiap tiga hari sekali, dan ia mengkhatamkannya di bulan Ramadhan sebanyak 17 kali khataman “.

Qatadah mengkhatamkan al-Quran setiap 3 hari.

كان قتادة يختم القرآن في سبع، وإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاثٍ، فإذا جاء العشر ختم كل ليلةٍ

“ Qatadah mengkhatamkan al-Quran di setiap tujuh hari sekali, dan jika telah datang bulan Ramadhan, maka ia mengkhatamkannya tiap tiga hari sekali, dan jika sudah masuk hari kesepuluh terakhir, maka ia mengkhatamkannya setiam malamnya “.

Asy-Syafi’i mengkhatamkan 60 kali khataman.

وقال الربيع بن سليمان: كان الشافعي يختم القرآن في شهر رمضان ستين ختمة وفي كل شهر ثلاثين ختمة

“ Rabi’ bin Sulaiman berkata, “ Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan setiap bulan biasa sebanyak 30 kali khataman “.

Imam Bukhari khatamn satu kali tiap hari.

كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ فِي النَّهَارِ كُلَّ يَوْمٍ خَتْمَةً، وَيَقُوْمُ بَعْدَ التَّرَاوِيْحِ كُلَّ ثَلَاثِ لَيَالٍ بِخَتْمَةٍ

“Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) mengkhatamkan al-Quran di siang hari bulan Ramadlan sebanyak satu kali khataman, dan salat malam setelah Tarawih khatam al-Quran tiap 3 hari “

Zuhair al-Marwazi : 90 Kali selama Ramadhan.
وَكَانَ زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِي يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ تِسْعِيْنَ خَتْمَةً مَاتَ سَنَةَ ثَمَانٍ وَخَمْسِيْنَ وَمِائَتَيْنِ

“Zuhair bin Muhammad al-Marwazi mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan sebanyak 90 kali. Ia wafat tahun 258 H”

Hasan al-Susi khatam sekali tiap hari.

حَكَتْ عَنْهُ (اَبِي الْحَسَنِ عَلِيِّ بْنِ نَصْرٍ السُّوْسِي) زَوْجَتُهُ، وَكَانَتِ امْرَأَةً صَالِحَةً: أَنَّهُ كَانَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ لَيْلَةٍ خَتْمَةً. حَتَّى كَانَتْ رِجْلَاهُ تَتَوَرَّمُ مِنَ الْقِيَامِ

“Istri Abu Hasan Ali bin Nashr al-Susi, ia wanita salehah, berkata bahwa suaminya mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan setiap malam, hingga kedua kakinya membengkak”

Abdullah bin Umar fokus beribadah hingga subuh.

وقال نافع: كان ابن عمر رضي الله عنهما يقوم في بيته في شهر رمضان، فإذا انصرف الناس من المسجد أخذ إداوةً من ماءٍ ثم يخرج إلى مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لا يخرج منه حتى يصلي فيه الصبح. أخرجه البيهقي

“ Nafi’ berkata, “ Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan qiyam di rumahnya di bulan Ramadhan, apabila manusia telah kembali dari masjid, maka beliau mengambil sebejana air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak keluar lagi hingga beliau selesai sholat subuh di sana “. (HR. Al-Baihaqi)

Abu Muhammad al-Labban selama Ramadhan tidak pernah tidur seditik pun.

Al-Hafidz adz-Dzahabi bercerita dari Abi Muhammad al-Labban :

أدرك رمضان سنة سبع وعشرين وأربعمائة ببغداد فصلّى بالناس التراويح في جميع الشهر فكان إذا فرغها لا يزال يصلي في المسجد إلى الفجر، فإذا صلى درّس أصحابه. وكان يقول: لم أضع جنبي للنوم في هذا الشهر ليلاً ولا نهاراً. وكان ورده لنفسه سبعا مرتلاً

“ al-Labban pernah mendapati bulan Ramadhan di tahun 427 H di Baghdad, beliau sholat tarawikh bersama orang-orang dalam setiap malamnya selama sebulan penuh. Dan beliau jika sudah selesai sholat, maka senantiasa beliau sholat hingga waktu subuh. Jika sudah sholat subuh, maka beliau melanjutkannya dengan membuka majlis bersama sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “ Aku tidak pernah meletakkan pinggangku untuk tidur selama sebulan ini baik siang atau pun malam “.

Demikianlah konidisi dan keadaan para ulama salaf selama di bulan Ramadhan yang mulia, semangat yang begitu tinggi, fokus yang luar biasa, keikhlasan yang luhur dan keta’atan yang optimal, sungguh jauh jarak di antara kita dan mereka. 

Sepatutnyalah kita yang harusnya lebih sedih dan banyak meneteskan air mata ketimbang mereka, karena kita akui banyak ibadah yang tidak begitu optimal bahkan banyak kekurangannya selama di bulan Ramadhan ini bahkan seminggu menjelang hari raya,  yang seharusnya kita lebih giat dan semangat lagi melakukan ibadah i’tikaf, membaca al-Quran, berdzikir dan lainnya, tapi malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.

Bukan berarti kita dilarang merasa senang dan gembira menyambut hari raya, bahkan itu dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i). 

Akan tetapi jangan sampai rasa gembira kita melalaikan dari menggunakan kesempatan emas ini untuk lebih menggapai pahala dan ridha dari Allah Ta’alaa.

Semoga Allah menerima puasa dan qiyam kita, dan mau merima yang sedikit dari apa yang kita lakukan selama di bulan Ramadhan ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita yang banyak, dan semoga kita dipanjangkan usia oleh Allah hingga hidup di bulan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang. Aamiin Yaa Rabbal aalamiin..

Saudaraku yang dirahmati Allah,

Masih ada Waktu, Ada Harapan, Kita Maksimalkan

Masih ada waktu bagi kita

Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka beberapa hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita.

Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya. Lalu kita perbaiki.

Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para sahabat dan salafus shalih itu. 

Namun jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa beri’tikaf –lama atau sebentar- di masjid-Nya.

Saudaraku yang dirahmati Allah,

Bulan Ramadhan merupakan momentum peningkatan kebaikan bagi orang-orang yang bertaqwa dan ladang amal bagi orang-orang shalih. Terutama, sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Dari ummul mukminin, Aisyah RA, menceritakan tentang kondisi Nabi SAW ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan:

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang”. (Muttafaq ‘alaih)

Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada dua sebab utama:

Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya. Rasulullah SAW berdoa:

اللهم اجعل خير عمري آخره وخير عملي خواتمه وخير أيامي يوم ألقاك
“Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu Kelak.”

Jadi, yang penting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan.

Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.

Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan turunnya lailatul qadar, karena lailatul qadar bisa juga turun pada bulan Ramadhan secara keseluruhan, sesuai dengan firman Allah swt.

إنا أنزلناه في ليلة القدر
Sesungguhnya Kami telah turunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan.”

Allah SWT juga berfirman:

شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان
“Bulan Ramadhan, adalah bulan diturunkan di dalamnya Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk dan pembeda -antara yang hak dan yang batil-.”

Dalam hadits disebutkan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan di dalamnya ada lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. "

Al Qur’an dan hadits shahih menunjukkan bahwa lailatul qadar itu turun di bulan Ramadhan. Dan boleh jadi di sepanjang bulan Ramadhan semua, lebih lagi di sepuluh terakhir Ramadhan. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

التمسوها في العشر الأواخر من رمضان“.
“Carilah lailatul qadar di sepuluh terakhir Ramadhan.”

Pertanyaan berikutnya, apakah lailatul qadar di seluruh sepuluh akhir Ramadhan atau di bilangan ganjilnya saja? 

Banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar berada di sepuluh hari terakhir. Dan juga banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar ada di bilangan ganjil akhir Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:

التمسوها في العشر الأواخر وفي الأوتار
“Carilah lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dan di bilangan ganjil.”

Oleh karena itu, mari kita berlomba meraih lailatul qadar di sepuluh hari terakhir Ramadhan, baik di bilangan ganjilnya atau di bilangan genapnya. Karena tidak ada konsensus atau ijma’ tentang kapan turunnya lailatul qadar.

Di kalangan umat muslim masyhur bahwa lailatul qadar itu turun pada tanggal 27 Ramadhan, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum. Akan tetapi sekali lagi tidak ada konsensus pastinya.

Sehingga imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” menyebutkan, “Paling tidak ada 39 pendapat berbeda tentang kapan lailatul qadar.”

Ada yang berpendapat ia turun di malam dua puluh satu, ada yang berpendapat malam dua puluh tiga, dua puluh lima, bahkan ada yang berpendapat tidak tertentu. 

Ada yang berpendapat lailatul qadar pindah-pindah atau ganti-ganti, pendapat lain lailatul qadar ada di sepanjang tahun. Dan pendapat lainnya yang berbeda-beda.

Untuk lebih hati-hati dan antisipasi, hendaknya setiap manusia menghidupkan sepuluh hari akhir Ramadhan.

Apa yang disunnahkan untuk dikerjakan pada sepuluh hari akhir Ramadhan?

Adalah qiyamullail, sebelumnya didahului dengan shalat tarawih dengan khusyu’. Qira’atul Qur’an, dzikir kepada Allah, seperti tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, istighfar, doa, shalawat atas nabi dan melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lainnya.

Lebih khusus memperbanyak doa yang ma’tsur Seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah:

اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
(Ya Allah, Engkau Dzat Pengampun, Engkau mencintai orang yang meminta maaf, maka ampunilah saya.” (Ahmad )

Patut kita renungkan, wahai saudaraku: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba Tuhan.” 

Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.

Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati.”
Allah cinta agar manusia taat sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang waktu.

Dan karena kita ingin mengambil bekal sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan berikutnya.

Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama ramadhan diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada-Nya.

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم. وتفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل الله منّي ومنكم تلاوته إنه هوالسميع العليم. واستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Benarkah Sholat Sunnah Kaffarah Dapat Mengqodho' Semua Sholat ?
Mengenai shalat baro'ah atau lebih dikenal dengan sholat kafarat (mengqodlo sholat lima waktu) adalah kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa sahabat, diantaranya oleh Ali bin Abi Thalib kw, dan terdapat sanad yang muttashil dan tsiqah kepada Ali bin Abi Thalib KW bahwa beliau melakukannya di Kufah.

Dan yang memproklamirkan kembali hal ini adalah AL Imam Al Hafidh Al Musnid Abubakar bin Salim rahimahullah, yaitu dilakukan pada setelah shalat jumat, pada hari jumat terakhir di bulan ramadhan, meng Qadha shalat lima waktu, 

Tujuannya adalah barangkali ada dalam hari hari kita shalat yang tertinggal, dan belum di Qadha, atau ada hal hal yang membuat batalnya shalat kita dan kita lupa akannya maka dilakukan shalat tersebut.

Mereka melakukan hal itu menilik keberkahan dan kemuliaan waktu hari jumat dan bulan Ramadhan. 

Perbedaan Pendapat Di Antara Ulama

Mengqodho' shalat tentunya wajib hukumnya bagi mereka yang meninggalkan shalat, namun tidak ada larangannya melakukan shalat fardhu kembali karena hukum shalat I’adah adalah hal yang diperbolehkan.

Dan selama hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat maka pastilah Rasul saw yang mengajarkannya, mengenai tak teriwayatkannya pada hadits shahih maka hal itu tak bisa menafikan hal ini selama terdapat sanad yang tsiqah dan muttashil pada sahabat atau tabiin. 

Sebab hadits yg ada kini tak sampai 1% dari hadits hadits Rasul saw yang ada dizaman sahabat,

Anda bisa bayangkan Jika Imam Ahmad bin Hanbal telah hafal 1 juta hadits dengan sanad dan hukum matannya, namun ia hanya mampu menulis sekitar 20 ribu hadits pada musnadnya, sisanya tak tertulis, lalu kemana 980 ribu hadits lainnya?, sirna dan tak tertuliskan,

Demikian pula Imam Bukhari yg hafal lebih dari 600 ribu hadit dengan sanad dan hukum matannya namun beliau hanya mampu menuliskan sekitar 7000 hadits pada shahihnya dan beberapa hadits lagi pada buku2 beliau lainnya, lalu kemana 593 ribu hadits lainnya?. sirna dan tak sempat tertuliskan,

Namun ada tulisan tulisan dan riwayat sanad yang dihafal oleh murid-murid mereka, disampaikan pula pada murid murid berikutnya, nah demikianlah sanad yang sampai saat ini tanpa teriwayatkan dalam hadits shahih.

Tentunya jalur mereka yang tak sempat terdata secara umum, namun masih tersimpan jalurnya dengan riwayat tsiqah dan muttashil kepada para sahabat.

Hal ini merupakan Ikhtilaf, boleh mengamalkannya dan boleh meninggalkannya.

Berikut adalah kutipan dari jawaban Habib Abu Bakar As-Segaf Soal Salat Di Hari Jumat Akhir Ramadlan

Saya, alfaqir Ma'ruf Khozin bertanya kepada Habib Abu Bakar As-Segaf, Wakil Rais Syuriah PCNU Pasuruan:

عفوا يا سيدي هل عرفتم بصلاة الكفارة في اخر الجمعة من رمضان. افتوني مأجورين ان شاء اللّٰه

Maaf Sayid Abu Bakar, apakah Anda pernah tahu tentang salat Kaffarat di hari Jumat terakhir di bulan Ramadlan? Berilah fatwa pada saya, in syaa Allah Anda mendapatkan pahala.
Habib Abu Bakar As-Segaf menjawab:

ليست صلاة الكفارة. بل صلاة القضاء. هذه من عمل سيدي الشيخ أبي بكر بن سالم المدفون في عينات حضرموت. من أكا بر أولياء السادة في زمانه. لكن لا ينوي بها لجبر صلاة الدهر. كما حرموا ذلك الفقهاء. إنما السادة عملوا ذلك وجعلها دأبا في كل آخر جمعة من رمضان. إقتداءا به وعلقوا نيتهم على نية الشيخ أبي بكر بن سالم الملقب بفخر الوجود . كان الحبيب حسين بن طاهر (مؤلف سلم التوفيق) سأله أهل حضرموت عن ذلك لما أشكلوه. فقال سلمنا لأهل الله ونوينا على مانواه الشيخ أبوبكر بن سالم
 
Ini bukan salat Kaffarat, namun salat Qadla'. Ini adalah amalan Sayid Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di 'Inat, Hadlramaut (Yaman). 

Beliau adalah pembesar wali dan sayid di masanya. Namun salat tersebut tidak boleh diniati sebagai pengganti salat selama setahun, sebagaimana diharamkan oleh ulama Fikih. 

Para Sayid (Habaib) hanya mengamalkannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan di akhir Jumat bulan Ramadlan karena untuk mengikuti beliau. Mereka menyesuaikan niat mereka dengan niat Sayid Abu Bakar bin Salim yang bergelar Fakhr al-Wujud.

Pengarang kitab Sullamut Taufiq, Habib Husain bin Thahir ditanya oleh penduduk Hadlramaut tentang hal ini, beliau menjawab: "Kita taslim (menerima) terhadap amalan wali Allah. Dan kita niatkan seperti niat Sayid Abu Bakar bin Salim

لكن الحبائب منعوا دعوة الناس لفعل هذه الصلاة في المساجد مثلا. وفعلوها مع أسرتهم في بيوتهم. خوفا من الإشكالات من بعض الناس.
 
Tetapi para Habaib melarang mengajak orang-orang melakukan salat ini di masjid, misalnya. Beliau-beliau mengamalkannya bersama keluarga di kediaman masing-masing. Khawatir ada kejanggalan dari sebagian orang.

Dan Berikut Kutipan Dari Kitab TATIMMUT TA'RIF karangan Al Habib Muhammad bin Hadi Assegaf :

Benarkah Sholat Sunnah Kaffarah Dapat Mengqodho' Semua Sholat ?
Dan berikut kutipan dari beberapa kitab fikih yang melarang melaksanakan sholat baro'ah atau kaffaroh :\

ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ - ﺍﻟﺒﻜﺮﻱ ﺍﻟﺪﻣﻴﺎﻃﻲ - ﺝ ١ - ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ٣١٢ :ﻗﻮﻟﻪ: ﻓﺎﺋﺪﺓ: ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻓﺔ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﺮﻏﺎﺋﺐ ﺇﻟﺦ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﻓﻲ ﺇﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ: ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﻤﺬﻣﻮﻣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺄﺛﻢ ﻓﺎﻋﻠﻬﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻭﻻﺓ ﺍﻻﻣﺮ ﻣﻨﻊ ﻓﺎﻋﻠﻬﺎ: ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺮﻏﺎﺋﺐ ﺍﺛﻨﺘﺎ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀﻳﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﺃﻭﻝ ﺟﻤﻌﺔ ﻣﻦ ﺭﺟﺐ. ﻭﺻﻼﺓ ﻟﻴﻠﺔ ﻧﺼﻒ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﺭﻛﻌﺔ، ﻭﺻﻼﺓ ﺁﺧﺮ ﺟﻤﻌﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺳﺒﻌﺔ ﻋﺸﺮ ﺭﻛﻌﺔ، ﺑﻨﻴﺔ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﻳﻘﻀﻬﺎ. ﻭﺻﻼﺓ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮ. ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻷﺳﺒﻮﻉ، ﺃﻣﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻬﺎ ﻓﻤﻮﺿﻮﻋﺔ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻻ ﺗﻐﺘﺮ ﺑﻤﻦ ﺫﻛﺮﻫﺎ. ﺍﻫ.



هل تَجُوزُ صَلَاةُ الرَّغَائِب وَالْبَرَاءَةِ جَمَاعَةً أَمْ لَا فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ أَمَّا صَلَاةُ الرَّغَائِب فَإِنَّهَا كَالصَّلَاةِ الْمَعْرُوفَةِ لَيْلَةَ النِّصْفِ من شَعْبَانُ بِدْعَتَانِ قَبِيحَتَانِ مَذْمُومَتَانِ وَحَدِيثهمَا مَوْضُوعٌ فَيُكْرَهُ فِعْلُهُمَا فُرَادَى وَجَمَاعَةً وَأَمَّا صَلَاةُ الْبَرَاءَة فَإِنْ أُرِيدَ بها ما يُنْقَلُ عن كَثِيرٍ من أَهْلِ الْيَمَنِ من صَلَاةِ الْمَكْتُوبَاتِ الْخَمْسِ بَعْد آخِرِ جُمُعَةٍ في رَمَضَانَ مُعْتَقِدِينَ أنها تُكَفِّرُ ما وَقَعَ في جُمْلَةِ السَّنَةِ من التَّهَاوُن في صَلَاتِهَا فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ شَدِيدَةُ التَّحْرِيم يَجِبُ مَنْعُهُمْ منها لِأُمُورٍ منها أَنَّهُ تَحْرُمُ إعَادَةُ الصَّلَاةِ بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا وَلَوْ في جَمَاعَةٍ وَكَذَا في وَقْتِهَا بِلَا جَمَاعَةٍ وَلَا سَبَبٍ يَقْتَضِي ذلك وَمِنْهَا أَنَّ ذلك صَارَ سَبَبًا لِتَهَاوُنِ الْعَامَّةِ في أَدَاءِ الْفَرَائِض لِاعْتِقَادِهِمْ أَنَّ فِعْلَهَا على تِلْكَ الْكَيْفِيَّةِ يُكَفِّرُ عَنْهُمْ ذلك وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

الفتاوى الفقهية الكبرى (1/ 217)وَأَمَّا صَلَاةُ الْبَرَاءَة فَإِنْ أُرِيدَ بها ما يُنْقَلُ عن كَثِيرٍ من أَهْلِ الْيَمَنِ من صَلَاةِ الْمَكْتُوبَاتِ الْخَمْسِ بَعْد آخِرِ جُمُعَةٍ في رَمَضَانَ مُعْتَقِدِينَ أنها تُكَفِّرُ ما وَقَعَ في جُمْلَةِ السَّنَةِ من التَّهَاوُن في صَلَاتِهَا فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ شَدِيدَةُ التَّحْرِيم يَجِبُ مَنْعُهُمْ منها لِأُمُورٍ منها أَنَّهُ تَحْرُمُ إعَادَةُ الصَّلَاةِ بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا وَلَوْ في جَمَاعَةٍ وَكَذَا في وَقْتِهَا بِلَا جَمَاعَةٍ وَلَا سَبَبٍ يَقْتَضِي ذلك وَمِنْهَا أَنَّ ذلك صَارَ سَبَبًا لِتَهَاوُنِ الْعَامَّةِ في أَدَاءِ الْفَرَائِض لِاعْتِقَادِهِمْ أَنَّ فِعْلَهَا على تِلْكَ الْكَيْفِيَّةِ يُكَفِّرُ عَنْهُمْ ذلك وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ 

إعانة الطالبين (1/ 270) ( قوله فائدة أما الصلاة المعروفة ليلة الرغائب إلخ ) قال المؤلف في إرشاد العباد ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر وصلاة الأسبوع أما أحاديثها فموضوعة باطلة ولا تغتر بمن ذكرها  
السؤال:

ما صحة الحديث الذى ورد فى فضل الصلاة فى آخر جمعة من شهر رمضان؟ حيث ورد فيه: "لمن فاته صلاة فى حياته عليه أن يصلى 4 ركعات بتشهد واحد، وأن يقرأ فاتحة الكتاب وسورة الكوثر والقدر 15 مرة فى كل ركعة، على أن تكون نيته كفارة لما فاته من صلوات، وعن فضلها: أنها مكفرة لـ 400 سنة، وقال الإمام على -رضى الله عنه وأرضاه-: إنها مكفرة لـ 1000 سنة".


الإجابة:الحمدُ للهِ، والصلاةُ والسلامُ على رسولِ اللهِ، وعلى آلِهِ وصحبِهِ ومن والاهُ، أمَّا بعدُ:فإن ما ذكره السائل، ليس حديثًا؛ فلا أصل له في كتب السنة، وعلامات الوضع ظاهرة عليه، وقد ذكر الشوكاني رحمه الله: حديثًا بهذا المعنى في كتابه "الفوائد المجموعة في الأحاديث الموضوعة" (ص 54)، ونصه: "من صلى في آخر جمعة من رمضان الخمس الصلوات المفروضة في اليوم والليلة، قضت عنه ما أخل به من صلاة سنته".ثم قال رحمه الله: "هذا موضوع لا إشكال فيه، ولم أجده في شيء من الكتب التي جمع مصنفوها فيها الأحاديث الموضوعة، ولكنه اشتهر عند جماعة من المتفقهة بمدينة صنعاء، في عصرنا هذا، وصار كثير منهم يفعلون ذلك، ولا أدري من وضعه لهم؛ فقبح الله الكذابين". انتهى.وراجع فتوى: "حكم العمل بالحديث الضعيف والموضوع".ثم إن من فاتته صلوات لم يصلها لعذر، لا يكفرِّها إلا قضاؤها، فكيف بالصلاة المتروكة عمدًا والتي لا يكفرها إلا التوبة إلى الله - عز وجل - توبة نصوحًا؟"؛ وراجع: "حكم تارك الصلاة"، "حكم قضاء الصلاة التي تُركت عمدًا"،، والله أعلم.


 Tata Cara Sholat Bara'ah Atau Kaffaroh
 
Adapun tatacaranya adalah sholat dengan niat qadha` . pertama sholat dhuhur, kemudian setelah salam langsung bangun sholat ashar qadha` dan begitu seterusnya sampai sholat subuh.

Tetapi jika tak dapat menghitung jumlahnya, dengan melakukan Shalat Sunnat kafarah.

Shalat kafarah Bersabda Rasulullah SAW : " Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka sholatlah di hari Jum'at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1x tasyahud (tasyahud akhir saja, tanpa tasyahud awal), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 X dan surat Al-Kautsar 15 X .
 
Niatnya: ” Nawaitu Usholli arba’a raka’atin kafaratan limaa faatanii minash-shalati lillaahi ta’alaa”

Artinya : "Aku niat sholat 4 rakaat sebagai kaffaroh (tebusan) daris sholat-sholat yang telah aku tinggalkan karena Allah SWT"
Sayidina Abu Bakar ra. berkata :
"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sholat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut Sayidina Ali ra. sholat tersebut sebagai kafaroh 1000 tahun. 
Maka bertanyalah sahabat : umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya ?". 
Rasulullah SAW menjawab, "Untuk kedua orangtuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang yang didekatnya/ lingkungannya."

Setelah selesai Sholat membaca Istigfar 10 x :
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعِظِيْمِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَ أتُبُوْا إِلَيْكَ

Kemudian baca sholawat 100 x :

اللَّهُمَّ صَلِّّ عَلَى سَيِّدِنَا محمّد

Kemudian menbaca basmalah, hamdalah dan syahadat
Kemudian membaca Doa kafaroh 3 x:  
Benarkah Sholat Sunnah Kaffarah Dapat Mengqodho' Semua Sholat ?


Artinya; 

Yaa Allah, yang mana segala ketaatanku tiada artinya bagiMu dan segala perbuatan maksiatku tiada merugikanMu. Terimalah diriku yang tiada artinya bagiMu. Dan ampunilah aku yang mana ampunanMu itu tidak merugikan bagiMu. 

Ya Allah, bila Engkau berjanji pasti Engkau tepati janjiMu. Dan apabila Engkau mengancam, maka Engkau mau mengampuni ancamanMu. Ampunilah hambaMu ini yang telah menyesatkan diriku sendiri, aku telah Engkau beri kekayaan dan aku mengumpat di saat aku Engkau beri miskin. 

Wahai Tuhanku Engkau ciptakan aku dan aku tak berarti apapun. Dan Engkau beri aku rizki sekalipun aku tak berarti apa-apa, dan aku lakukan perbuatan semua ma’siat dan aku mengaku padaMu dengan segala dosa-dosaku. 

Apabila Engkau mengampuniku tidak mengurangi keagunganMu sedikitpun, dan bila Kau siksa aku maka tidak akan menambah kekuasaanMu, wahai Tuhanku, bukankah masih banyak orang yang akan Kau siksa selain aku. Namun bagiku hanyaEnakau yang dapat mengampuniku. Ampunilah dosa-dosaku kepadaMu. Dan ampunilah segala kesalahanku di antara aku dengan hamba-hambaMu. 

Ya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih dan tempat pengaduan semua pemohon dan tempat berlindung bagi orang yang takut. Kasihanilah aku dengan pengampunanMu yang luas. Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Engkaulah yang memelihara seluruh alam yang ada. 

Ampunilah segala dosa-dosa orang mu’min dan mu’minat, muslimin dan muslimat dan satukanlah aku dengan mereka dalam kebaikan. Wahai Tuhanku ampunilah dan kasihilah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Washollallahu ‘Ala sayyidina Muhammadin wa’ala alihi wasohbihi wasalim tasliiman kasiira. Amin.  

Waktu : Yaitu, shalat sunnah kafarat yang hanya kesempatannya di hari Jumat akhir Ramadhan batasnya antara waktu dhuha dan 
 Ashar.

Diambil dari kitab “Majmu’atul Mubarakah”, susunan Syekh Muhammad Shodiq Al-Qahhawi.

(oleh: Habib Munzir al-Musawa dan dari berbagai sumber lain.)